ليس لمظاهرة النساءنصيب الا في العيدين الضحى و الفطر. لما رواه
الطبراني في الكبير عن ابن عمر عن رسول الله صلعم قال : ليس
للنساء نصيب في الخروج الا مضطرة (ليس لها خادم) الا في العيدين
الاضحى والفطر
Tiada di bolehkan wanita berpawai (arak-arakan) kecuali pada hari Raya yakni:Qurban dan Fitrah. Karena mengingat hadits yang diriwatkan Thabarani dalam kitab Al-Kabir dari Ibnu “Umar,: bahwa Rasulullah saw bersabda :”Bagi wanita tiada ada hak untuk keluar, kecuali terpaksa (tidak mempunyai Khadam), dan kecuali pada hari raya Adlha dan Fitrah.
Kenapa hal ini koq ga' diperhatikan ya???
Baca selengkapnya...
Radio MuslimWeb linksBuku tamuTracking |
Jadwal Ma'hadDownloadCategories |
Ma'had Ki Bagus Hadikusumo
Minggu, 30 Agustus 2009
ARAK-ARAKAN (PAWAI) ‘AISYAH
Tabir Dalam Sidang
بناء على أن غض البصر مأمور فى قوله تعالى: قل للمؤمنين يغضوا
من أبصارهم ويخفظوا فروجهم – الأية. وقل للمؤمنيات يغضضن من
أبصارهن ويحفظن فروجهن – الأية. ( النور:30-31)
فقد فقد قرر المجلس على إتحاذ الستر ونحوه فى اجتماعات الجمعية
المحمدية التى يحضرها الرجال والنساء سدا لحدوث النظر المحرم.
Menggunakan tabir dalam rapat-rapat Muhammadiyah. Oleh karena ketentuan menahan penglihatan itu diperintahkan, sebagaiman firman Allah: “Katakanlah kepada orang-orang mukmin (pria) supaya memejamkan penglihatannya dan menjaga farjinya ….” Seterusnya ayat. “Dan katakanlah kepada orang-orang mukminat (wanita) supaya memejamkan penglihatannya dan menjaga farjinya…..”seterusnya ayat. (Quran surat An-nur ayat 30-31).
Maka Majlis Tarjih telah memutuskan untuk memasang tabir atau sesamanya didalam rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan Persyarikatan Muhammadiyah, yang dihadiri oleh pria dan wanita guna mencegah terjadinya yang dilarang(diharamkan).
Baca selengkapnya...
Manhaj Dakwah Muhammadiyah
KOMITMEN DAKWAH MUHAMMADIYAH
Oleh: Dr. H. Syamsul Hidayat, M.A.
Beberapa waktu yang lalu, di Universitas Muhammadiyah Malang diselenggarakan Kolokium Pemikiran Islam. Acara dimaksudkan untuk menyoroti perkembangan pemikiran Islam di lingkungan Muhammadiyah, sekaligus memberikan kontribusi pemikiran kepada Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern di Indonesia. Tentu acara ini memiliki maksud-maksud dan tujuan yang mulia bagi perkembangan dan pengembangan Muhammadiyah.
Prof. Dr. M. Dien Syamsuddin, M.A. yang hadir memberkan keynote speech menegaskan bahwa Muhammadiyah, khususnya dalam masalah aqidah, ubudiyah dan akhlak adalah berpaham salafi. Dalam suatu kesempatan workshop Pemikiran Islam yang diselenggaran Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah di Universtas Muhammadiyah Surakarta empat tahun silam (2004) beliau menjelaskan tentang kesalafian Muhammadiyah ini dengan menunjukkan komitmen Muhamamdiyah untuk al-ruju ila al-Quran wal Sunnah dan manhaj salafush shalih. Akan tetapi dalam visi sosial dan muamalah dunyawiyyah, masih kata Dien,Muhammadiyah mengambil posisi tengahan. Artinya berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Muhammadiyah akan bergerak aktif mengikuti perkembangan iptek sekaligus memberikan arah perubahan dan perkembangan itu dengan pandangan hidup Islami.
Agaknya tidak salah apabila, Prof. Azyumardi Azra menyebut Muhamamdiyah itu menganut salafisme moderat (salafiyyah wasatiyah). Beliau mendorong agar Muhammadiyah tetap istiqamah dalam manhaj salafush shalih (merujuk kepada generasi awal Islam/: shahabat, tabi’in dan tabi’in yang shalih) dalam masalah keagamaan yang bersifat baku (al-tsawabit), tetapi selalu dinamis sesuai jiwa ajaran Islam dalam masalah keagamaan yang memungkinkan perubahan dan pengembangan (al-mutaghayyirat).
Tulisan sederhana ini ingin menunjukkan bahwa sungguh-sungguh Muhammadiyah ini lahir sebagai bagian dari gerakan dakwah salafiyah. Dakwah Pemurnian Islam sesuai dengan manhaj salafus shalih, tetapi mengikuti perkembangan peradaban manusia dan memberikan arah perubahan itu dengan manhaj Islami.
Menjanjikan Madu tetapi Menyebarkan Racun
Kembali kepada acara kolokium di UMM di atas, yang dalam proposalnya menjanjikan untuk memberikan kotribusi bagi Muhammadiyah, tetapi ternyata dalam perjalannya justru terlontar pikiran-pikiran liar dan liberal yang tentu saja tidak akan dapat memberikan kontribusi positif bagi Muhammadiyah, akan tetapi sebaliknya malah meracuni Muhamamdiyah dengan pikiran-pikiran liberal yang ”menyesatkan”. Hal ini dibuktikan oleh lontaran pikiran nyeleneh dari salah satu pembicara yang menyatakan bahwa perubahan kiblat yang dilakukan Rasulullah dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram (Ka’bah) bukan perintah wahyu. Tetapi hasil riset politik Nabi, sehingga perubahan itu hanya merupakan kebijakan politik Nabi. Ini adalah lontaran pemikiran yang jauh menyimpang dari manhaj salafus shalih.
Lebih berat lagi adalah usulan dari seorang pembicara, Nurkholis Setiawan, yang hadir menggantikan Prof Amin Abdullah. Ia mengusulkan agar Muhammadiyah mengadopsi pemikiran Syahrur dan Arkoun dalam menafsirkan Al-Quran, karena tafsir konvensional yang ada sekarang ini dipandang tidak memadai dan tidak relevan.
Dalam makalahnya, Nurkholis banyak merujuk kepada Syahrur dalam persoalan pidana. Katanya, “Untuk persoalan pidana, tidak berlebihan jika kita melihat proposal pemikirah Syahrur, yang menitik beratkan kepada teori batas.” Menurut Syahrur kasus pemidanaan tidak harus di-amar-kan sesuai dengan bunyi leterlijk. Melainkan diselaraskan dengan peradapan komunitas yang menjalankannya.”
“Menurut model pemikiran Syahrur, masyarakat Muslim Indonesia memiliki ruangan yang cukup untuk memberikan kontribusi sekaligus ‘memberdayakan’ tafsir sebagai salah satu bangunan metodologis melahirkan ketetapan hukum,” tulis Nur Kholis dalam makalahnya.
Sebagaimana diketahui bahwa Syahrur sebenarnya bukan seorang ahli dalam hukum Islam. Setelah lulus dari sekolah menengahnya di lembaga pendidikan ‘Abd al-Rahman al-Kawakibi, Damaskus tahun 1957 ia mendapatkan beasiswa pemerintah untuk studi teknik sipil (handasah madaniyah) di Moskow, Uni Sovyet.
Ia berhasil meraih gelar Diploma dalam teknik sipil pada 1964 dan kemudian bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Syahrur lantas dikirim oleh pihak Universitas ke Irlandia ‘Ireland National University’ untuk memperoleh Master dan Doktoralnya dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi( 1969). Dan gelar doktornya di jurusan yang sama dia selesaikan tahun 1972.
Insinyur pertanahan ini mendadak terkenal setelah menolak hijab dan jilbab. Di beberapa tulisannya, apalagi dalam bukunya yang berjudul Nahwa Ushul Jadid li Al-Fiqh al-Islami (Menuju Metode Baru dalam Fiqih Islam) sangat menentang hijab. Bukunya, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, yang sangat kontroversial tiba-tiba membuat namanya menjadi terangkat. Bahkan dipuja-puja kaum liberal di Indonesia.
Tidak hanya itu, doktor yang banyak dirujuk kaum liberal ini juga membolehkan ‘kumpul kebo’. Pada bulan Januari, situs Al-Arabiya menanyakan masalah pergaulan bebas yang banyak menjangkiti para remaja Suriah, Syahrur mengatakan bahwa apa yang dilakukan para remaja itu, jika hal itu sesuai dengan kemauan mereka, tanpa akad, atau tanpa didampingi seorang syekh atau tanpa mendapat izin, maka hal itu halal, katanya. Dan tokoh seperti inilah yang ingin dijadikan sandaran kaum liberal untuk mengkaji Al-Quran.
Syukurlah, pada sessi ini ditampilkan juga Ustadz Muammal Hamidy, dari PWM Jawa Timur. Dalam makalahnya, Muammal yang juga pengasuh Ma’had Aly Manarul Islam Lil Fiqh wal-Da’wah Bangil ini, mengungkap peringatan Rasulullah saw, bahwa ”Siapa yang menafsiri Al-Quran dengan ra’yunya, maka siap-siaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka.” Ia pun menyitir hadits lain: ”Akan datang suatu masa menimpa umatku, yaitu banyak orang yang ahli baca Al-Quran tetapi sedikit sekali yang memahami hukum, dicabutnya ilmu dan banyak kekacauan. Menyusul akan datang suatu masa, ada sejumlah orang yang membaca Al-Quran tetapi Al-Quran itu tidak melampaui tenggorokannya. Kemudian menyusul satu masa ada orang musyrik membantah orang mukmin tentang Allah (untuk mempertahankan kesyirikannya) dengan bahasa yang sama (HR Thabrani).
Ustadz Muammal Hamidy kemudian menyimpulkan: (1) Al-Quran jangan ditafsiri sesuai selera, (2) Pemahaman terhadap Al-Quran hendaknya didasari dengan ilmu, (3) Ilmu untuk memahami hukum-hukum Al-Quran harus dikuasai dengan baik, (4) Membaca Al-Quran minimal hendaknya disertai dengan pengertiannya, dan (5) Ummat Islam harus mewaspadai orang-orang yang mempergunakan dalil Al-Quran dan Sunnah untuk kepentingan yang tidak Islami.
Adian Husaini, anggota MTDK PP Muhammadiyah dalam catatan akhir pekan di hidayatullah.com, menegaskan, peringatan tokoh senior Muhammadiyah Jawa Timur ini kiranya perlu kita perhatikan. Sebab, umat Islam di Indonesia saat ini banyak dijejali dengan beragam model penafsiran yang ditawarkan oleh sebagian kalangan cendekiawan yang isinya justru mengacak-acak Al-Quran, seperti penafsiran yang menghalalkan perkawinan homoseksual dan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim.
Masalah penafsiran Al-Quran, menurut Adian adalah masalah yang sangat mendasar dalam Islam. Sebab, melalui ilmu inilah, umat Islam memahami firman Allah SWT. Karena itu, dalam Mukaddimah Tafsirnya, Ibn Katsir memaparkan, bagaimana hati-hatinya para sahabat Nabi saw dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Jika mereka tidak paham terhadap makna suatu ayat, maka mereka bertanya kepada sahabat lain yang dipandang lebih ahli dalam masalah tersebut. Ibn Katsir menasehatkan, jika tidak ditemukan penafsiran Al-Quran dalam Al-Quran, as-Sunnah, dan pendapat sahabat, maka carilah penafsiran itu dalam pendapat para tabi’in.
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan tawadhu’nya pernah menyatakan: “Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui tentang Kitabullah?” Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa yang mengucapkan (sesuatu) tentang Al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan: “Hati-hatilah dalam penafsiran, sebab ia merupakan pemaparan tentang Allah.”
Sikap hati-hati inilah yang mendorong lahirnya para ulama Tafsir yang serius. Para mufassir Al-Quran harus sangat berhati-hati, sebab tanggung jawab mereka di hadapan Allah SWT sangatlah berat. Bagi yang bukan mufassir pun wajib memperhatikan masalah ini, dan berhati-hati dalam memilih tafsir. Jangan sampai memilih tafsir Al-Quran yang dibuat sesuai dengan selera dan hawa nafsu.
Sebagai satu organisasi Islam yang besar, tentu Muhammadiyah wajib memiliki banyak Ahli Tafsir Al-Quran. Kita menyambut baik setiap upaya ijtihad yang dilakukan oleh para ulama atau pemikir Muslim mana pun. Namun, kita juga perlu berhati-hati dalam soal penafsiran. Tidak setiap ”kilasan pemikiran” bisa dikatakan ijtihad. Setiap lontaran pemikiran yang baru tentang Tafsir Al-Quran, sebaiknya dikaji dengan seksama terlebih dahulu secara terbatas di kalangan pakar Tafsir.
Salah satu kekacauan dan pengacauan tafsir Quran yang sempat dilontarkan dalam kolokium di UMM itu adalah ”teori batas” dari Syahrur yang diajukan Nur Kholish adalah batas dalam soal waris. Pola 2:1 bagi laki-laki dan wanita, menurut Syahrur, adalah formula batas atas dan batas bawah. Jadi, menurut formula itu, batas atas bagi laki-laki adalah 66,6 persen dan batas bawah bagi wanita adalah 33,33 persen. Jadi, bisa dilakukan ijtihad baru, seorang laki-laki mendapatkan warisan 60 persen dan seorang wanita mendapatkan 40 persen. Aspek lokalitas turut memberikan warna dalam pergeseran 66,6 banding 33,3 persen.
Kekacauan Teori Batas ini bisa dilihat dalam kasus pakaian laki-laki. Syahrur berpendapat bahwa batas bawah (batas minimal) aurat laki-laki yang harus ditutup hanyalah kemaluannya. ”Karena keadaan cuaca berbeda-beda pada tiap penduduk bumi dari panas yang terik sampai dingin yang menggigit. Maka batas minimal pakaian yang diberikan bagi laki-laki adalah menutup kemaluan.” Karena itu, kata Syahrur, laki-laki boleh berenang hanya dengan mengenakan celana renang saja. Yang dilarang adalah melihat laki-laki dalam keadaan telanjang bulat. (Lihat, Muhammad Syahrur, Islam dan Iman: Aturan-sturan Pokok, (Terj.) (Yogya: Jendela, 2002), hal. 71.
Pada 6 September 2004, situs JIL pernah menurunkan sebuah artikel yang membahas tentang Teori Batas Syahrur, ditulis oleh seorang dosen di Jurusan Tafsir-Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ditulis di situ, bahwa dalam soal pakaian wanita (libâs al-mar’ah), Syahrur berpendapat bahwa batas minimum pakaian perempuan adalah satr al-juyûb (Q.S al-Nur: 31) atau menutup bagian dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah.
Kita bisa melihat, betapa absurdnya teori semacam ini. Dengan ”Teori Batas” ala Syahrur ini, maka boleh saja wanita mengenakan bikini di depan umum, yang penting dia sudah menutupi batas minimal, yakni kemaluan, payudara, dan tidak telanjang bulat.
Dengan model penafsiran yang sangat ”fleksibel” seperti itu, kita paham, mengapa sebagian kalangan sangat menyukai metode tafsir al-Quran yang disebut ”Teori Batas” ala Syahrur ini. Meskipun model tafsir al-Quran semacam ini yang ditawarkan dalam acara Kolokium Nasional Pemikiran Islam di Unmuh Malang, kita berharap, Majelis Tarjih Muhammadiyah, tidak tergoda untuk memungutnya.
Kembali Ke Missi Ahmad Dahlan dengan Dakwah Salafiyah
Dalam sejarah dakwah Islam di Indonesia, KH. Ahmad Dahlan adalah salah satu tokoh penting dari gerakan salafiyah, yakni gerakan pemurnian Islam seperti dirintis oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha dan seterusnya. Di Indonesia sendiri dakwal salafiyyah dipelopori oleh tokoh yang dikenal dengan pemimpin kaum Paderi, yakni Imam Bonjol, yang selanjutnya diteruskan oleh gerakan Sumatera Tawalib. Itulah sebabnya, ketika Dakwah Muhammadiyah merambah ke Sumatera Barat, sambutannya begitu dahsyat, dan banyak tokoh Tawalib yang bergabung dengan Muhammadiyah, dan Muhammadiyah Sumatera Barat menjadi daerah kantong Muhammadiyah dengan kualitas dan kuantitas anggota yang sangat spektakuler, bahkan melebihi Yogyakarta tempat kelahirannya.
”Ideologi Salafiyah” yang menjadi manhaj KH. Ahmad Dahlan memang benar-benar merujuk kepada para ulama yang dikenal memiliki kommitmen terhadap manhaj salaf. Beliau membaca buku-buku Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim, seperti kitab ”al-Tawassul wal Wasilah, Madarij al-Salikin, Al-Aqidah al-Wasitiyyah, juga membaca Kitab Tauhid Ibnu Wahhab, serta buku-buku Rasyid Ridha. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan sempat berjumpa dengan Syaikh Rasyid Ridha tersebut di Mekkah saat beliau bermukim di sana.
Kalau kita baca buku ”Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Quran” yang dihimpun oleh KHR. Hajid, sangat terasa sentuhan manhaj salaf, yang sangat tegas dan dalam memurnikan aqidah, ibadah dan penguatan akan tazkiyatun nafs, sebagaimana banyak diajarkan oleh ulama-ulama salaf.
Untuk itu, sangat tidak berlebihan, kalau warga Muhammadiyah kembali mengkaji falsafat dan ajaran KH Ahmad Dahlan, yang benar-benar menanamkan jiwa berjuang yang tinggi untuk menegakkan syari’at agama Islam secara kaffah dan murni. Bersih dari takhayyul, bid’ah, churafat (TBC) dan kemusyrikan, baik syirk asghar maupun syirk akbar.
Sangat aneh apabila ada Pimpinan atau anggauta Muhammadiyah yang ingin menghidupkan amalan bid’ah dan khurafat, seperti yasinan, tahlilan untuk orang mati pada hari ke 3, 7, 40, 100, dan seterusnya. Juga getol menghidupkan ruwatan, dan sejenisnya, yang semuanya itu dilakukan dengan mengatasnamakan dakwah kultural. Sementara banyak kita jumpai, para santri dan beberapa kyai yang selama ini getol menghidupkan TBC, dan menggukanakannya sebagai media dakwah, justru telah menyadari kekeliruannya, kemudian diteruskan dengan menulis buku-buku yang menguraikan kebid’ahaan dan penyimpangan ritual-ritual seperti tahlilan, manakiban, yasinan dan istighasahan dan seterusnya.
Kita bersyukur atas kembalinya para kyai dan santri kepada dakwah salafiyah, dakwah pemurnian aqidah, ibadah dan akhlak, dengan pengendalian muamalah agar sesuai dengan prinsip muamalah Islam dengan mengikuti perkembangan jaman. Kita berharap mereka bisa gayung bersambut membantu Muhammadiyah dalam menguatkan dan menyebarkan dakwah salafiyah, dakwah yang bijak dan santun kepada setiap mad’u. Dakwah yang membimbing umat kepada jalan yang benar sesuai pesan-pesan al-Quran dan al-Sunnah, sejalan dengan manhaj salafush shalih.
Namun, di sisi lain kita juga menyesalkan beberapa kalangan da’i atau mubaligh, terlebih-lebih yang mengklaim dirinya sebagai ”da’i salafi” mencemooh dan mencecar Muhammadiyah telah bergelimang dengan berbagai prraktek bid’ah. Mestinya malah memberikan dukungan dan bantuan agar Muhammadiyah selalu di jalan manhaj salafush shalih, meskipun tampil dengan wajah modern, seperti dengan kemajuan dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan, serta sistem organisasi dan amal usaha yang variatif. Sementara itu para pimpinan dan warga Muhammadiyah sebagaimana manhaj tarjih, dituntut bersikap terbuka, dan siap terus belajar. Siap menerima koreksi dari siapa pun selama sesuai dengan dasar Al-Quran dan al-Sunnah. Juga tidak boleh merasa cukup ilmu, padahal masih sangat jauh kekurangannya. Ibarat kata di dalam tempurung. Ilmu-ilmu Islam begitu luas dan dalam.
Warga Muhammadiyah wajib mengapresiasi putusan-putusan para ulamanya yang terhimpun dalam Majelis Tarjih dan Tajdid, terutama HPT (Himpunan Putusan Tarjih), tetapi tetap harus membuka wawasan bahwa diluar HPT, masih banyak yang harus dikaji dan diamalkan. Artinya warga Muhammadiyah tidak boleh berhenti belajar dengan menganggap HPT adalah segala-galanya. Insyaallah dengan beginilah kita meneguhkan identitas dan ideologi persyarikatan. Istilahnya Pak Amien Rais kader dan anggota Muhammadiyah haruslah memiliki komitmen dan wawasan dalam bermuhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan pun pernah aktif dalam Sarekat Islam dan Budi Utomo, juga bergaul akrab dengan tokoh Al-Irsyad, seperti Ahmad Syurkati. Beliau belajar kepada para ulama yang bermanhaj Salaf, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim lewat kitab-kitabnya, juga Muhammad bin Abdul Wahhab, Rahmatullah al-Hind, dan Rasyid Ridha. Tetapi juga mengambil semangat pembaharuan terutama dalam urusan ilmu, pendidikan dan urusan duniawi, misalnya Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh,
Dari sini dapat dimengerti bahwa teguhnya ideologi Muhammadiyah tidak dengan menutup diri dan fanatik buta, Tetapi justru harus membuka diri untuk menerima kebenaran dari siapa pun selama sejalan dengan Al-Quran dan Al-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush shalih. Nasrun minallah wa fathun qarib.
(Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Wakil Ketua MTDK Muhammadiyah).
Baca selengkapnya...
Kamis, 18 Juni 2009
Jangan Ada Noda di Antara Kita
Bagi seorang ikhwah yang terbiasa dengan ghadhul bashar –menjaga pandangan-, kecantikan dan kemolekan tubuh wanita yang suka pamer aurat bukan lagi godaan yang menggiurkan bagi mereka, insya Allah. Tapi jangan dikira mereka telah terbebas dari fitnah yang satu ini, ternyata partner dakwah –akhawaat- kadang menjadi alat bagi setan untuk menggelincirkan pejuang dakwah ini menjadi terdakwa, begitu pun sebaliknya.
Modus dan motif operandinya pun sangat halus dan kadang sulit untuk di deteksi sebab dibalut dengan kata-kata dan istilah yang Islami.
Kilasan-kilasan aneh yang muncul dalam hati bisa menjadikan panggung dakwah yang seharusnya sebagai ajang mencari ridha Allah berubah menjadi ajang cari muka dan perhatian.
Benarlah apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Shalllahu 'Alaihi wa Sallam:
“Tidak pernah kutinggalkan sepeninggalku godaan yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada (godaan) wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain:
“Sesungguhnya dunia ini indah nan manis, dan sesungguhnya Allah telah menjadikan kamu sekalian sebagai khalifah lalu melihat apa yang kalian perbuat. Maka waspadailah dunia dan wanita. Sesungguhnya godaan dan bencana pertama yang menimpa Bani Israil adalah wanita.” (HR. Muslim)
Laki-laki shaleh pada kurun terbaik mereka dikenal sebagai orang-orang yang sabar dengan berbagai cobaan dan keberanian mereka dalam menghadapi musuh-musuh Islam sudah tidak diragukan lagi, tapi sungguh mereka sangat ‘penakut’ dengan makhluk lembut yang bernama WANITA.
Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, “Lebih baik saya berjalan di belakang seekor singa dari pada berjalan di belakang seorang perempuan.”
Ali bin Zaid bin Said bin Musayyab pada umur delapan puluh empat tahun, salah satu matanya buta, sementara yang lain rabun malam berkata, “Tidak ada yang lebih aku khawatirkan dari pada wanita.”
Yunus bin Ubaid berpesan, “Janganlah salah seorang di antara kamu berdua-duaan dengan perempuan meski untuk mengajarkan al-Qur`an.”
Subhanallah! Di mana derajat kita dibandingkan mereka? Dengan kondisi keimanan yang pas-pasan dan zaman dengan sebagian besar penghuni yang semakin edan bukankah kita lebih patut untuk takut dan berhati-hati terhadap godaan ini?
Dalam aktivitas dakwah, peran wanita memang sangat dibutuhkan utamanya dalam mendakwahi sesama kaumnya yang sekarang ini lebih banyak. Dalam situasi dan kondisi tertentu kadang mengharuskan adanya kerjasama antara ikhwah dan akhwaat. Dan sudah kita ketahui bersama bahwa setan akan terus mencari celah untuk menjerumuskan manusia dalam maksiat, termasuk memanfaatkan sikon tersebut. Sebagaimana pesan Ali bin Zaid, “Setiap kali setan putus asa menghadapi manusia, ia pasti menggunakan jurus wanita.”
Tentunya kita semua berharap agar jalinan kerjasama tetap berlanjut dan aktivitas dakwah tetap melaju tanpa ditunggangi oleh sesuatu yang justru akan menghancurkannya. Dengan begitu dakwah akan menjadi semakin kuat dibawah ridha Allah,
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Taubah)
Ada beberapa jalur dimana syetan biasanya memanfaatkannya untuk menebar virus merah jambu (VMJ) di kalangan aktivis dakwah, diantaranya;
>>>Rapat, Musyawarah dan semisalnya
Dalam dakwah utamanya dalam amal jama’i tentunya banyak urusan yang perlu untuk dirembukkan bersama, tak ayal rapat pun harus digelar tentu dengan dibatasi hijab. Untuk ini saya hanya berpesan; bicarakanlah sesuatu yang penting saja; hindari bercanda, berbantah-bantahan dan mau menang sendiri. Khusus untuk akhawaat, tentunya sudah tahu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
“Maka janganlah kamu tunduk (mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (Al-Ahzab: 32)
Bicaralah dengan nada sedang jangan rendah dan jangan juga terlalu tinggi, sebab itu akan membawa fitnah lain dimana ikhwah akan merasa dimarah-marahi tanpa sebab. Yang biasa saja.
>>>Telepon
VMJ juga bisa menjalar lewat kabel telepon. Bagi kalian yang terpaksa menggunakan jalur ini tolong perhatikan rambu-rambu di bawah ini:
- Sebelum nelpon tanya diri kita, “Penting tidak?” Kalau tidak penting, ndak usah! Apalagi kalo cuma mau dengar suaranya, astaghfirullah.
- Lihat waktu dong! Meskipun penting, menelpon di waktu malam di saat kebanyakan orang sudah tidur adalah perbuatan yang tidak bisa dianggap beradab.
- Bicara seperlunya, bila urusan telah selesai tutup teleponnya. Jangan biarkan sedetik pun syetan menggunakan pulsa Anda.
- Frekuensi suaranya tetap dijaga, supaya penerima tidak salah tangkap
>>>SMS
Ini jalur komunikasi yang paling banyak dipakai orang saat ini. Sebenarnya sarana ini aman dan paling banyak membantu komunikasi antara ikhwah dan akhwaat dalam urusan dakwah, setidaknya aman dari fitnah yang ditimbulkan oleh suara. Tapi menurut sebagian ikhwah, ‘keampuhan’ SMS untuk menebarkan VMJ ternyata tak kalah dari telepon, alasannya SMS berupa tulisan yang bisa disimpan dalam jangka lama dan dari membaca kata-kata yang biasanya tidak lengkap itu seseorang bisa berpikiran yang bukan-bukan.
Setidaknya arahan di bawah ini membantu Anda melawan VMJ yang bercokol di HP Anda:
1. [taqabbalallahu minna waminkum, semoga Ukhti tetap istiqomah di jalan Dakwah], sepintas SMS ini tidak lebih dari ucapan selamat dan nasehat berharga. Bila SMS ini dibaca oleh penerimanya dan ternyata pengirimnya berasal dari ukhti fulanah, mungkin reaksinya biasa saja, toh setiap momen tertentu dia mengirim SMS nasehat serupa. Tapi jika ia melihat pengirimnya adalah ikhwah fulan dipastikan reaksinya akan berbeda, entahlah....
Sebelum terlanjur, jangan sekali-kali!
2. Bila pesan telah selesai di baca dan informasi telah jelas, jangan biarkan tulisan itu tetap tersimpan dalam memori HP Anda dalam waktu yang lama sebaiknya dihapus, sebab mungkin saja setan akan menggoda Anda setiap waktu untuk membuka meski sekedar membaca ulang yang hanya akan menimbulkan noda-noda di hati.
>>>Chatting/Webforum
Dasar setan! Ternyata dia tidak mau ketinggalan jaman dengan menggunakan Teknologi Informasi ini untuk menyebar VMJ-nya termasuk di kalangan aktivis dakwah.
Maksud awalnya sih sekedar untuk memperbanyak teman yang peduli dengan kegiatan dakwah. Dakwah kan butuh jaringan yang luas, dana yang tidak sedikit dan beragam alasan positif lainnya. Dan akhirnya orang yang dicari ketemu juga, meski beda jenis tapi insyaAllah –duh bawa nama Allah segala- aman, kita kan ndak saling lihat, pikirnya. Perkenalan pun berlanjut di dunia maya ini. Bukan hanya sekali dua kali karena ada saja dalam dakwah ini ada saja hal yang menarik untuk dicurhatkan. Merasa nyambung dan cocok pembicaraan merambah ke hal yang privat, tukar-tukaran nomor HP, alamat E-Mail dan Blog, bahkan alamat rumah.
Lama kelamaan persoalan dakwah bukan lagi hal utama dalam pembicaraan mereka, rayuan gombal pun kadang menjadi bumbu kata-kata yang mereka tulis di layar komputer. Akhirnya mereka sepakat untuk bertemu di darat dan si ‘ikhwa’ berjanji untuk melanjutkan hubungan mereka di pelaminan.
Dari fragmen di atas, apa bedanya dengan pacaran yang banyak digeluti pemuda-pemudi sekarang? Mungkin yang beda hanyalah adanya istilah-istilah islami yang disisipkan dalam komunikasi mereka, “Ukhti, Akhi, Insya Allah, afwan, dsb.” Tapi pacaran tetaplah pacaran, hukumnya haram apapun alasannya.
Jangan membiarkan syetan menjebak kita dalam perangkapnya yang satu ini. Ingat syetan lebih banyak menggoda manusia dari sisi kebaikan dan berawal dari niat baik.
“Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya” (al Hijr: 39)
Tidak layak dan sangat tidak pantas menjadikan dakwah sebagai tunggangan untuk mencari jodoh. Jalani dakwah dengan seikhlasnya, percayalah dengan janji-Nya bahwa yang baik hanya untuk yang baik-baik.
Jalan dakwah adalah jalan yang suci, hanya akan dilalui oleh orang-orang yang mempunyai niat dan tujuan yang suci, untuk meninggikan kalimat suci.
Untuk menjaga kesucian itu dan untuk tidak membuat kita sibuk mengurusi urusan separuh agama ini, saya sarankan kepada Anda untuk segera menikah yang merupakan jalan satu-satunya menyalurkan hasrat itu.
"Barangsiapa diberi oleh Allah istri yang shalihah, maka sesungguhnya ia telah diberi pertolongan oleh Allah meraih separuh agamanya. Kemudian hendaklah ia bertakwa kepada Allah di dalam memelihara separuh lainnya. " (HR. Thabrani dan Hakim).
Untuk motivasi yang satu ini saya tidak bisa memberi komentar terlalu banyak. Tanpa dimotivasi pun keinginan itu telah meluap-luap, namun yang kurang biasanya adalah keyakinan…
Wallahu Muwaffiq
Baca selengkapnya...
Jumat, 12 Juni 2009
Minggu, 17 Mei 2009
Salah Paham Tentang Salafi
Pepatah lama mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”. Demikianlah, kadang seorang membenci sesuatu, padahal ia tidak mengenal apa yang ia benci itu. Bisa jadi bila ia mengenalnya, bukan benci namun cinta yang diberikan. Demikianlah yang terjadi pada dakwah Salafiyah atau disebut juga Salafi. Banyak orang bergunjing tentang Salafi, padahal ia tidak mengenal bagaimana sebenarnya Salafi atau dakwah salaf itu. Hasilnya, timbullah tuduhan dan anggapan-anggapan buruk yang keji. Bahkan sampai ada yang menuduh bahwa Salafi adalah aliran sesat! Sungguh Allah-lah tempat memohon pertolongan.
Kenalilah Istilah Salafi
Salaf secara bahasa arab artinya ‘setiap amalan shalih yang telah lalu; segala sesuatu yang terdahulu; setiap orang yang telah mendahuluimu, yaitu nenek moyang atau kerabat’ (Lihat Qomus Al Muhith, Fairuz Abadi). Secara istilah, yang dimaksud salaf adalah 3 generasi awal umat Islam yang merupakan generasi terbaik, seperti yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya” (HR. Bukhari-Muslim)
Tiga generasi yang dimaksud adalah generasi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat, generasi tabi’in dan generasi tabi’ut tabi’in. Sering disebut juga generasi Salafus Shalih. Tidak ada yang meragukan bahwa merekalah orang-orang yang paling memahami Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Maka bila kita ingin memahami Islam dengan benar, tentunya kita merujuk pada pemahaman orang-orang yang ada pada 3 generasi tersebut. Seorang sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata, “Seseorang yang mencari teladan, hendaknya ia meneladani para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam karena mereka adalah orang-orang yang paling mulia hatinya, paling mendalam ilmunya, paling sedikit takalluf-nya, paling benar bimbingannya, paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya, dan untuk menegakkan agamanya. Kenalilah keutamaan mereka. Ikutilah jalan hidup mereka karena sungguh mereka berada pada jalan yang lurus.” (Limaadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Kemudian dalam kaidah bahasa arab, ada yang dinamakan dengan isim nisbah, yaitu isim (kata benda) yang ditambahkan huruf ‘ya’ yang di-tasydid dan di-kasroh, untuk menunjukkan penisbatan (penyandaran) terhadap suku, negara asal, suatu ajaran agama, hasil produksi atau sebuah sifat (Lihat Mulakhos Qowaid Al Lughoh Ar Rabiyyah, Fuad Ni’mah). Misalnya yang sering kita dengar seperti ulama hadits terkemuka Al-Bukhari, yang merupakan nisbah kepada kota Bukhara (nama kota di Uzbekistan) karena Al-Bukhari memang berasal dari sana. Ada juga yang menggunakan istilah Al-Hanafi, berarti menisbahkan diri pada madzhab Hanafi. Maka dari sini dapat dipahami bahwa Salafi maksudnya adalah orang-orang yang menisbahkan (menyandarkan) diri kepada generasi Salafus Shalih. Atau dengan kata lain “Salafi adalah mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka”. (Kun Salafiyyan ‘Alal Jaddah, hal. 10)
Sehingga dengan penjelasan ini jelaslah bahwa orang yang beragama dengan mengambil sumber ajaran Islam dari 3 generasi awal umat Islam tadi, DENGAN SENDIRINYA ia seorang Salafi. Tanpa harus mendaftar, tanpa berbai’at, tanpa iuran anggota, tanpa kartu anggota, tanpa harus ikut pengajian tertentu, dan tanpa harus memakai busana khas tertentu. Maka Anda yang sedang membaca artikel ini pun seorang Salafi bila anda selama ini mencontoh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam beragama.
Jika pembaca sekalian memahami penjelasan di atas, maka seharusnya telah jelas bahwa dakwah salafiyyah adalah Islam itu sendiri. Dakwah Salafiyyah adalah Islam yang hakiki. Mengapa? Karena dari manakah kita mengambil sumber pemahaman Al Qur’an dan hadits selain dari para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam? Apakah ada sumber lain yang lebih terpercaya? Apakah Islam dipahami dengan selera dan pemahaman masing-masing orang? Bahkan jika seseorang dalam memahami Al Qur’an dan hadits mengambil sumber dari yang lain, maka dapat dipastikan ia telah mengambil jalan yang salah. Syaikh Salim Bin ‘Ied Al Hilaly setelah menjelaskan surat An Nisa ayat 115 berkata, “Dengan ayat ini jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mu’minin adalah jalan keselamatan. Dan ayat ini dalil bahwa pemahaman para sahabat mengenai agama Islam adalah hujjah terhadap pemahaman yang lain. Orang yang mengambil pemahaman selain pemahaman para sahabat, berarti ia telah mengalami penyimpangan, menapaki jalan yang sempit lagi menyengsarakan, dan cukup baginya neraka Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat tinggal.” (Limaadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Salah Kaprah Tentang Salafi
Di tengah masyarakat, banyak sekali beredar syubhat (kerancuan) dan kalimat-kalimat miring tentang Salafi. Dan ini tidak lepas dari dua kemungkinan. Sebagaimana dijelaskan Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri ketika ditanya tentang sebuah syubhat, “Kerancuan tentang Salafi yang berkembang di masyarakat ini tidak lepas dari 2 kemungkinan: Disebabkan ketidak-pahaman atau disebabkan adanya i’tikad yang buruk. Jika karena tidak paham, maka perkaranya mudah. Karena seseorang yang tidak paham namun i’tikad baik, jika dijelaskan padanya kebenaran ia akan menerima, jika telah jelas baginya kebenaran dengan dalilnya, ia akan menerima. Adapun kemungkinan yang kedua, pada hakikatnya ini disebabkan oleh fanatik golongan dan taklid buta, -dan ini yang lebih banyak terjadi- dari orang-orang ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan pelaku bid’ah yang mereka memandang bahwa manhaj salaf akan membuka tabir penyimpangan mereka.” (Ushul Wa Qowa’id Fii Manhajis Salafi, Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri )
Dalam kesempatan kali ini akan kita bahas beberapa kerancuan tersebut.
1. Salafi Bukanlah Sekte, Aliran, Partai atau Organisasi Massa
Sebagian orang mengira Salafi adalah sebuah sekte, aliran sebagaimana Jama’ah Tabligh, Ahmadiyah, Naqsabandiyah, LDII, dll. Atau sebuah organisasi massa sebagaimana NU, Muhammadiyah, PERSIS, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dll. Ini adalah salah kaprah. Salafi bukanlah sekte, aliran, partai atau organisasi massa, namun salafi adalah manhaj (metode beragama), sehingga semua orang di seluruh pelosok dunia di manapun dan kapanpun adalah seorang salafi jika ia beragama Islam dengan manhaj salaf tanpa dibatasi keanggotaan.
Sebagian orang juga mengira dakwah Salafiyyah adalah gerakan yang dicetuskan dan didirikan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab. Ini pun kesalahan besar! Dijelaskan oleh Syaikh ‘Ubaid yang ringkasnya, “Dakwah salafiyyah tidak didirikan oleh seorang manusia pun. Bukan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab bersama saudaranya Imam Muhammad Bin Su’ud, tidak juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, bukan pula oleh Imam Mazhab yang empat, bukan pula oleh salah seorang Tabi’in, bukan pula oleh sahabat, bukan pula oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, dan bukan didirikan oleh seorang Nabi pun. Melainkan dakwah Salafiyah ini didirikan oleh Allah Ta’ala. Karena para Nabi dan orang sesudah mereka menyampaikan syariat yang berasal dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan rujukan melainkan nash dan ijma” (Ushul Wa Qowaid Fii Manhajis Salaf)
Oleh karena itu, dalam dakwah salafiyyah tidak ada ketua umum Salafi, Salafi Cabang Jogja, Salafi Daerah, Tata tertib Salafi, AD ART Salafi, Alur Kaderisasi Salafi, dan tidak ada muassis (tokoh pendiri) Salafi. Tidak ada pendiri Salafi melainkan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada AD-ART Salafi melainkan Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat.
2. Salafi Gemar Mengkafirkan dan Membid’ahkan?
Musuh utama seorang muslim adalah kekufuran dan kesyirikan, karena tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya agar makhluk-Nya hanya menyembah Allah semata. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh kesyirikan adalah kezaliman yang paling besar” [QS. Luqman: 13]. Setelah itu, musuh kedua terbesar seorang muslim adalah perkara baru dalam agama, disebut juga bid’ah. Karena jika orang dibiarkan membuat perkara baru dalam beragama, akan hancurlah Islam karena adanya peraturan, ketentuan, ritual baru yang dibuat oleh orang-orang belakangan. Padahal Islam telah sempurna tidak butuh penambahan dan pengurangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim)
Maka tentu tidak bisa disalahkan ketika ada da’i yang secara intens mendakwahkan tentang bahaya syirik dan bid’ah, mengenalkan bentuk-bentuk kesyirikan dan kebid’ahan agar umat terhindar darinya. Bahkan inilah bentuk sayang dan perhatian terhadap umat.
Kemudian, para ulama melarang umat Islam untuk sembarang memvonis bid’ah, sesat apalagi kafir kepada individu tertentu. Karena vonis yang demikian bukanlah perkara remeh. Diperlukan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah serta memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama dalam hal ini. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata, “Dalil-dalil terkadang menunjukkan bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur, atau perkataan tertentu adalah perkataan kufur. Namun di sana terdapat faktor yang membuat kita tidak memberikan vonis kafir kepada individu tertentu (yang melakukannya). Faktornya banyak, misalnya karena ia tidak tahu, atau karena ia dikalahkan oleh orang kafir dalam perang.” (Fitnah At Takfir, Muhammad Nashiruddin Al Albani)
Dari sini jelaslah bahwa menjelaskan perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur bukan berarti memvonis semua pelakunya itu per individu pasti kafir. Begitu juga menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan bid’ah bukan berarti memvonis pelakunya pasti ahlul bid’ah. Syaikh Abdul Latif Alu Syaikh menjelaskan: “Ancaman (dalam dalil-dalil) yang diberikan terhadap perbuatan dosa besar terkadang tidak bisa menyebabkan pelakunya per individu terkena ancaman tersebut” (Ushul Wa Dhawabith Fi At Takfir, Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman Alu Syaikh)
3. Salafi Memecah-Belah Ummat?
Untuk menjelaskan permasalahan ini, perlu pembaca ketahui tentang 3 hal pokok. Pertama, perpecahan umat adalah sesuatu yang tercela. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Berpegang teguhlah pada tali Allah dan jangan berpecah-belah” (QS. Al-Imran: 103). Kedua, perpecahan umat adalah suatu hal yang memang dipastikan terjadi dan bahkan sudah terjadi. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, “Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” [HR. Tirmidzi]. Ketiga, persatuan Islam bukanlah semata-mata persatuan badan, kumpul bersama, dengan keadaan aqidah yang berbeda-beda. Mentoleransi segala bentuk penyimpangan, yang penting masih mengaku Islam. Bukan itu persatuan Islam yang diharapkan. Perhatikan baik-baik hadits tadi, saat umat Islam berpecah belah seolah-olah Rasulullah memerintahkan untuk bersatu pada satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh para sahabat, inilah manhaj salaf.
Sehingga ketika ada seorang yang menjelaskan kesalahan-kesalahan dalam beragama yang dianut sebagian kelompok, aliran, partai atau ormas Islam, bukanlah upaya untuk memecah belah ummat. Melainkan sebuah upaya untuk mengajak ummat BERSATU di satu jalan yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tersebut. Bahkan adanya bermacam aliran, sekte, partai dan ormas Islam itulah yang menyebabkan perpecahan ummat. Karena mereka tentu akan loyal kepada tokoh-tokoh mereka masing-masing, loyal kepada peraturan mereka masing-masing, loyal kepada tradisi mereka masing-masing, bukan loyal kepada Islam!!
Selain itu, jika ada saudara kita yang terjerumus dalam kesalahan, siapa lagi yang hendak mengoreksi kalau bukan kita sesama muslim? Tidak akan kita temukan orang kuffar yang melakukannya. Dan bukankah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Agama adalah nasehat” (HR. Muslim). Dan jika koreksi itu benar, bukankah wajib menerimanya dan menghempas jauh kesombongan? Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
4. Salafi Aliran Sesat?
Orang yang menuduh dakwah salafiyyah sebagai aliran sesat, seperti dijelaskan oleh Syaikh Ubaid, bisa jadi ia memang orang awam yang belum mengenal apa itu salafi, atau bisa jadi ia orang benci kepada dakwah salafiyyah karena dakwah ini telah membuka tabir yang selama ini menutupi penyimpangan-penyimpangan yang dimilikinya.
Anggapan ini sama sekali tidak benar karena dua hal. Pertama, dakwah salafiyyah bukan aliran atau sekte tertentu dalam Islam, sebagaimana telah dijelaskan. Kedua, sebagaimana telah diketahui bahwa sesuatu dikatakan tersesat jika ia telah tersasar dari jalan yang benar, dan menempuh jalan yang salah. Maka bagi yang menuduh hendaknya mendatangkan bukti bahwa dakwah salafiyyah menyimpang dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang benar. Niscaya mereka tidak akan bisa mendatangkan buktinya.
Sebagaimana yang dijelaskan Majelis Ulama Indonesia Jakarta Utara dalam menanggapi kalimat-kalimat miring yang menuduh bahwa salafi adalah aliran sesat, dalam surat edaran MUI Jakarta Utara tanggal 8 April 2009 berjudul “Pandangan MUI Kota Administrasi Jakarta Utara tentang Salaf/Salafi”. Dalam surat edaran tersebut ditetapkan:
a) Pertama, penjelasan tentang Salaf/Salafi:
- Salaf/Salafi tidak termasuk ke dalam 10 kriteria sesat yang telah ditetapkan oleh MUI. Sehingga Salaf/Salafi bukanlah merupakan sekte atau aliran sesat sebagaimana yang berkembang belakangan ini,
- Salaf/Salafi adalah nama yang diambil dari kata salaf yang secara bahasa berarti orang-orang terdahulu, dalam istilah adalah orang-orang terdahulu yang mendahului kaum muslimin dalam Iman, Islam dst. mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka,
- Penamaan salafi ini bukanlah penamaan yang baru saja muncul, namun sejak dahulu ada,
- Dakwah salaf adalah ajakan untuk memurnikan agama Islam dengan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan menggunakan pemahaman para sahabat Radhiallahu’anhum.
b) Kedua, nasehat dan tausiah kepada masyarakat:
- Hendaknya masyarakat tidak mudah melontarkan kata sesat kepada suatu dakwah tanpa di klarifikasi terlebih dahulu,
- Hendaknya masyarakat tidak terprovokasi dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bertanggung jawab,
- Kepada para da’i, ustadz, tokoh agama serta tokoh masyarakat hendaknya dapat menenangkan serta memberikan penjelasan yang objektif tentang masalah ini kepada masyarakat,
- Hendaknya masyarakat tidak bertindak anarkis dan main hakim sendiri, sebagaimana terjadi di beberapa daerah.
(Surat edaran MUI, “Pandangan MUI Kota Administrasi Jakarta Utara tentang Salaf/Salafi”, 8 April 2009, file ada pada redaksi)
Nasihat Untuk Ummat
Terakhir, agama adalah nasehat. Maka penulis menasehati diri sendiri dan kaum muslimin sekalian untuk menjadi Salafi. Bagaimana caranya? Menjadi seorang Salafi adalah dengan menjalankan Islam sesuai dengan apa yang telah dituntunkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan dipahami oleh generasi Salafus Shalih. Dan wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk ber-Islam dengan manhaj salaf. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam semua diampuni oleh Allah. Wajib mengikuti metode beragama para sahabat, perkataan mereka dan aqidah mereka sebenar-benarnya” (I’lamul muwaqqi’in, (120/4), dinukil dari Kun Salafiyyan ‘Alal Jaddah, Abdussalam Bin Salim As Suhaimi)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat. [Yulian Purnama]
Baca selengkapnya...Minggu, 08 Maret 2009
Maulid Nabi Bid'ah atau Sunnah ?
Alhamdulillah hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih kamaa yuhibbu Robbuna wa yardho, wa asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa asy-hadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluh. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Saudaraku yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah Ta’ala. Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi lagi sesudah beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan yang mulia dengan syafa’at al ‘uzhma pada hari kiamat kelak. Itulah di antara keistimewaan Abul Qosim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang muslim punya kewajiban mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari makhluk lainnya. Inilah landasan pokok iman.
Engkau Harus Mencintai Nabimu
Saudaraku, itulah yang harus dimiliki setiap muslim yaitu hendaklah Nabinya lebih dia cintai dari makhluk lainnya. Mari kita simak bersama firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Qs. At Taubah: 24)
Ibnu Katsir mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/124)
Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasul dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab –radiyallahu ‘anhu-. Lalu Umar –radhiyallahu ‘anhu- berkata,
لأنت أحب إلي من كل شيء إلا من نفسي
“Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
لا والذي نفسي بيده حتى أكون أحب إليك من نفسك
“Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Kemudian ‘Umar berkata,
فإنه الآن والله لأنت أحب إلي من نفسي
“Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
الآن يا عمر
“Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR. Bukhari) [Bukhari: 86-Kitabul Iman wan Nudzur, 2 - Bab Bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah]
Al Bukhari membawakan dalam kitabnya: Bab Mencintai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian dari iman. An Nawawi membawakan dalam Shahih Muslim: Bab-Wajibnya Mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari kecintaan pada keluarga, anak, orang tua, dan manusia seluruhnya. Dalam bab tersebut, Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semua Cinta Butuh Bukti
Cinta bukanlah hanya klaim semata. Semua cinta harus dengan bukti. Di antara bentuk cinta pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ittiba’ (mengikuti), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Karena ingatlah, ketaatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah buah dari kecintaan.
Penyair Arab mengatakan:
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَهُ
إِنَّ المُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعٌ
Sekiranya cintamu itu benar niscaya engkau akan mentaatinya
Karena orang yang mencintai tentu akan mentaati orang yang dicintainya
Cinta pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dengan melatunkan nasyid atau pun sya’ir yang indah, namun enggan mengikuti sunnah beliau. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:
لهذا لما كَثُرَ الأدعياء طُولبوا بالبرهان ,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ
Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imron: 31)
Seorang ulama mengatakan:
لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ وَلَكِن الشَّأْنُ أَنْ تُحَبْ
Yang terpenting bukanlah engkau mencintai-Nya. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya.
Yang terpenting bukanlah engkau mencintai Nabimu. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa mendapatkan cinta nabimu. Begitu pula, yang terpenting bukanlah engkau mencintai Allah. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya. (Lihat Syarh ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 20/2)
Allah sendiri telah menjelaskan bahwa siapa pun yang mentaati Rasul-Nya berarti dia telah mentaati-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Qs. An-Nisa’: 80)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada ajarannya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
“Tidaklah aku biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (HR. Abu Daud no. 2970. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih)
Itulah saudaraku di antara bukti seseorang mencintai nabinya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yaitu dengan mentaati, mengikuti dan meneladani setiap ajarannya.
Kebalikan Cinta
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa di antara bukti cinta adalah mentaati dan ittiba’ pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti kebalikan dari hal ini adalah enggan mentaatinya dan melakukan suatu ibadah yang tidak ada ajarannya. Karena sebagaimana telah kami jelaskan di muka bahwa setiap orang pasti akan mentaati dan mengikuti orang yang dicintai.
Dari sini berarti setiap orang yang melakukan suatu ajaran yang tidak ada tuntunan dari Nabinya dan membuat-buat ajaran baru yang tidak ada asal usulnya dari beliau, walaupun dengan berniat baik dan ikhlash karena Allah Ta’ala, maka ungkapan cinta Nabi pada dirinya patut dipertanyakan. Karena ingatlah di samping niat baik, seseorang harus mendasari setiap ibadah yang dia lakukan dengan selalu mengikuti tuntunan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah yang engkau harus pahami saudaraku, sebagaimana engkau akan mendapati hal ini dalam perkataan Al Fudhail berikut.
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67]: 2), beliau mengatakan, “Yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)
Perkataan Fudhail di atas memiliki dasar dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Itulah saudaraku yang dikenal dengan istilah bid’ah. Amalan apa saja yang tidak mengikuti tuntunan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tertolak, walaupun yang melakukan berniat baik atau ikhlash. Karena niat baik semata tidaklah cukup, sampai amalan seseorang dibarengi dengan megikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah kita mengetahui muqodimah di atas, sekarang kita akan menelusuri lebih jauh, apakah betul cinta Nabi harus dibuktikan dengan mengenang hari kelahiran beliau dalam acara maulid Nabi sebagaimana yang dilakukan sebagian kaum muslimin? Silakan simak pembahasan berikut ini.
Sejarah Maulid Nabi
Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling paham mengenai sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat dalam mengikuti setiap ajaran beliau.
Perlu diketahui pula bahwa -menurut pakar sejarah yang terpercaya-, yang pertama kali mempelopori acara Maulid Nabi adalah Dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah). Sebagai buktinya adalah penjelasan berikut ini.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146)
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al Maulid, hal. 20)
Fatimiyyun yang Sebenarnya
Kebanyakan orang belum mengetahui siapakah Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah orang-orang sholeh dan punya i’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi senyatanya tidak demikian. Banyak ulama menyatakan sesatnya mereka dan berusaha membongkar kesesatan mereka.
Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai). Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”
Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (’Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127)
Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.
Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama, “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”
Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].” (Wafayatul A’yan, 3/117-118)
Perhatikanlah pula perkataan Al Maqrizy di atas, begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun, kurang lebih ada 25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan perayaan hari raya orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari selelum Paskah). Ini pertanda bahwa mereka jauh dari Islam. Bahkan perayaan-perayaan maulid yang diadakan oleh Fatimiyyun tadi hanyalah untuk menarik banyak masa supaya mengikuti madzhab mereka. Jika kita menilik aqidah mereka, maka akan nampak bahwa mereka memiliki aqidah yang rusak dan mereka adalah pelopor dakwah Batiniyyah yang sesat. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 146, 158)
‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.
Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).” (Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143)
Inilah sejarah yang kelam dari Maulid Nabi. Namun, kebanyakan orang tidak mengetahui sejarah ini atau mungkin sengaja menyembunyikannya.
Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:
- Maulid Nabi tidak ada asal usulnya sama sekali dari salafush sholeh. Tidak kita temukan pada sahabat atau para tabi’in yang merayakannya, bahkan dari imam madzhab.
- Munculnya Maulid Nabi adalah pada masa Daulah Fatimiyyun sekitar abad tiga Hijriyah. Daulah Fatimiyyun sendiri dibinasakan oleh Shalahuddin Al Ayubi pada tahun 546 H.
- Fatimiyyun memiliki banyak penyimpangan dalam masalah aqidah sampai aliran ekstrim di antara mereka mengaku Ali sebagai Tuhan. Fatimiyyun adalah orang-orang yang gemar berbuat bid’ah, maksiat dan jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.
- Merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
- مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
- “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Sikap Ahlus Sunnah dalam Menyikapi Perayaan Maulid Nabi
[Pertama] Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqi mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ‘Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
[Kedua] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya [?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid terdapat kebaikan, lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah…”
Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]” (As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat, 138-139)
[Ketiga] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.” (Al Hawiy Lilfatawa lis Suyuthi, 1/183)
Pembelaan Sebagian Orang Dalam Masalah Maulid
[Pertama] Maulid adalah Bentuk Rasa Syukur, Pengagungan dan Penghormatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Cukup kami jawab, kalau memang maulid adalah bentuk syukur, mengapa sejak generasi sahabat hingga imam mazhab yang empat tidak ada yang melakukan perayaan ini[?] Apakah keimanan mereka lebih rendah dibanding orang-orang sekarang yang merayakannya[?] Apakah orang ini menyangka lebih mendapat petunjuk daripada generasi awal tersebut[?]
Semoga kita dapat merenungkan perkataan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berikut.
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)
Juga kami katakan, “Mengapa ucapan syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sekali dalam setahun, hanya pada 12 Rabi’ul Awwal? Mengagungkan, mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersyukur bukan hanya sekali setahun, namun setiap saat dengan mentaati dan selalu ittiba’ pada beliau.”
[Kedua] Maulid Nabi adalah Bid’ah Hasanah (Bid’ah yang baik)
Perkataan ini muncul karena mereka melihat para ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah atau dholalah (sesat/jelek). Jadi menurut mereka tidak semua bid’ah itu sesat.
Ingatlah saudaraku, bid’ah dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diyakini oleh sahabat, setiap bid’ah adalah sesat.
Perhatikanlah sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Lihatlah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Kita akan melihat bahwa mereka mengatakan semua bid’ah itu sesat, tanpa ada pengecualian.
Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khaththab pernah menyatakan bahwa shalat tarawih yang dia hidupkan adalah “sebaik-baik bid’ah”? Dari perkataan beliau ini menurut mereka, ada bid’ah hasanah (yang baik).
Sanggahan: Ingatlah para sahabat tidak mungkin melakukan bid’ah. Yang dimaksud dengan bid’ah dalam perkataan ‘Umar adalah bid’ah secara bahasa Arab yang berarti sesuatu yang baru.
Jika ada yang masih ngotot bahwa tidak semua bid’ah sesat, ada di sana bid’ah yang baik (hasanah), maka cukup kami katakan: Kalau ‘Umar menghidupkan shalat tarawih dan beliau katakan sebagai bid’ah, hal ini ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaksanakan shalat tarawih di awal-awal Ramadhan. Namun karena takut amalan tersebut dianggap wajib, maka beliau tidak menunaikannya lagi. Jadi, intinya ‘Umar memiliki dasar dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekarang, apa maulid Nabi memiliki dasar dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana shalat tarawih yang dihidupkan oleh ‘Umar[?] Jawabannya tidak sama sekali. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merayakan hari kelahirannya, begitu pula para sahabat, tabi’in, dan para imam madzhab tidak ada yang merayakannya. Sehingga maulid tidak bisa kita sebut bid’ah hasanah. Yang lebih tepat maulid adalah bid’ah madzmumah (tercela) sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syuqairiy dan Al Fakihaniy yang telah kami sebutkan di atas.
[Ketiga] Niatannya Supaya Lebih Mengenal Sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Mungkin ada yang berseloroh, kalau melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati agar lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal Nabinya.
Kita katakan kepadanya bahwa itu tidak benar! Sungguh ironis, seorang yang mengaku cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenalinya kok hanya setahun sekali?! Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau, yang ini pun sesungguhnya sudah masuk ke dalam lingkup tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Mereka (orang Nashrani) merayakan kelahiran Nabi Isa melalui natalan, sedangkan mereka merayakan kelahiran Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui natalan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Sudikah kita mengenal dan mengenang Nabi, namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita lakukan?! Dan siapa bilang harus mengenal sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cuma melalui acara maulid yang hanya diadakan sekali setahun[?] Bukankah masih ada cara lain yang sesuai tuntutan dan tidak tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir.
[Keempat] Nabi memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa
Sebagian beralasan dengan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan mengenai puasa pada hari Senin, beliau pun menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim [Muslim: 14-Kitab Ash Shiyam, 36-Bab Anjuran Puasa Tiga Hari Setiap Bulannya])
Sanggahan: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun.
Penutup
Akhirnya, sulit dibenarkan jika perayaan Maulid Nabi dengan segala modelnya diklaim sebagai bentuk kebaikan dalam rangka mentaati dan mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Justru kebenaran ada pada pihak yang tidak merayakan Maulid, demi ketaatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga kebersihan ajaran Islam. Bukankah masih banyak sunnah-sunnah Rasul yang masih terbengkalai dan belum kita sentuh? Sungguh ironis, sekian banyak sunnah dilupakan, bahkan dilecehkan, sementara bid’ah maulid dibela mati-matian. Semoga kita terhindar dari pengaruh tipu daya para penyeru bid’ah dan kesesatan, yang lebih cenderung berbuat bid’ah bahkan terkadang tidak memahami sunnah Nabinya.
Terkahir. Saudaraku, kami menyinggung masalah Maulid ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung bid’ah dan semacamnya. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar. Yang kami inginkan adalah agar saudara kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami tidak ingin saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami inginkan pada diri kami. Kami hanya ingin agar umat Islam mengetahui ajaran Islam yang benar dan mengetahui kekeliruan yang sering terjadi di tengah-tengah umat. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud [11]: 88)
Ingat sekali lagi bahwa cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Rabu, 6 Rabi’ul Awwal 1430 H
Yang sangat butuh pada ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.wordpress.com)
[Jazahullahu khoiron pada Ustadzuna Aris Munandar yang telah mengedit tulisan ini. Semoga Allah memberkahi ilmu dan umur beliau]
Referensi:
- Al I’tishom, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syatibi, Asy Syamilah
- Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiry, Darul Fadhilah,cetakan pertama, 1421 H
- Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi, Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut, cetakan pertama, 1421 H
- Al Maulid, Syaikh Samir Al Maliki, Asy Syamilah
- As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat, Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syaqiriy,Darul Fikr
- Huququn Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baina Al Ijlal wal Ikhlal, Dimuqoddimahi oleh Dr. Syaikh Sholeh bin Fauzan Al Fauzan
- Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim Lilmukholafati Ash-habil Jahim, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof
- Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Darul Hadits Kairo
- Majmu’ Fatawa, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy, Darul Wafa’
- Syarh At Thohawiyah, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Asy Syamilah
- Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyiy Ad Dimasyqiy, Dar Thobi’ah, cetakan kedua, 1420 H
- Wafayatul A’yan wa Anba-i Abna-iz Zaman, Abul ‘Abbas Syamsuddin Ahmad bin Muhammad Abu Bakr bin Khallikan, Tahqiq: Ihsan ‘Abbas, Dar Shodir-Beirut
***
Penulis: Muhammad Abduh TuasikalMuroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel : www.muslim.or.id Baca selengkapnya...
© 2008 Ma'had Ki Bagus Hadikusumo Sekolah Kader Muhammadiyah