Jadwal Ma'had

Apa yang musuhku dapat lakukan padaku ?
Aku, surga dan tamanku ada didalam dadaku,
Kemanapun aku pergi ia selalu bersamaku,
Tidak meninggalkanku

Jika aku dipenjara, bagiku itu adalah Khalwah
Jika aku dibunuh, bagiku itu adalah Syahadah
Dan, jika aku diusir dari kampung halamanku,
bagiku itu adalah Siyahah,jalan-jalan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Minggu, 30 Agustus 2009

Manhaj Dakwah Muhammadiyah

KOMITMEN DAKWAH MUHAMMADIYAH

Oleh: Dr. H. Syamsul Hidayat, M.A.

Beberapa waktu yang lalu, di Universitas Muhammadiyah Malang diselenggarakan Kolokium Pemikiran Islam. Acara dimaksudkan untuk menyoroti perkembangan pemikiran Islam di lingkungan Muhammadiyah, sekaligus memberikan kontribusi pemikiran kepada Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern di Indonesia. Tentu acara ini memiliki maksud-maksud dan tujuan yang mulia bagi perkembangan dan pengembangan Muhammadiyah.

Prof. Dr. M. Dien Syamsuddin, M.A. yang hadir memberkan keynote speech menegaskan bahwa Muhammadiyah, khususnya dalam masalah aqidah, ubudiyah dan akhlak adalah berpaham salafi. Dalam suatu kesempatan workshop Pemikiran Islam yang diselenggaran Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah di Universtas Muhammadiyah Surakarta empat tahun silam (2004) beliau menjelaskan tentang kesalafian Muhammadiyah ini dengan menunjukkan komitmen Muhamamdiyah untuk al-ruju ila al-Quran wal Sunnah dan manhaj salafush shalih. Akan tetapi dalam visi sosial dan muamalah dunyawiyyah, masih kata Dien,Muhammadiyah mengambil posisi tengahan. Artinya berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Muhammadiyah akan bergerak aktif mengikuti perkembangan iptek sekaligus memberikan arah perubahan dan perkembangan itu dengan pandangan hidup Islami.

Agaknya tidak salah apabila, Prof. Azyumardi Azra menyebut Muhamamdiyah itu menganut salafisme moderat (salafiyyah wasatiyah). Beliau mendorong agar Muhammadiyah tetap istiqamah dalam manhaj salafush shalih (merujuk kepada generasi awal Islam/: shahabat, tabi’in dan tabi’in yang shalih) dalam masalah keagamaan yang bersifat baku (al-tsawabit), tetapi selalu dinamis sesuai jiwa ajaran Islam dalam masalah keagamaan yang memungkinkan perubahan dan pengembangan (al-mutaghayyirat).

Tulisan sederhana ini ingin menunjukkan bahwa sungguh-sungguh Muhammadiyah ini lahir sebagai bagian dari gerakan dakwah salafiyah. Dakwah Pemurnian Islam sesuai dengan manhaj salafus shalih, tetapi mengikuti perkembangan peradaban manusia dan memberikan arah perubahan itu dengan manhaj Islami.

Menjanjikan Madu tetapi Menyebarkan Racun

Kembali kepada acara kolokium di UMM di atas, yang dalam proposalnya menjanjikan untuk memberikan kotribusi bagi Muhammadiyah, tetapi ternyata dalam perjalannya justru terlontar pikiran-pikiran liar dan liberal yang tentu saja tidak akan dapat memberikan kontribusi positif bagi Muhammadiyah, akan tetapi sebaliknya malah meracuni Muhamamdiyah dengan pikiran-pikiran liberal yang ”menyesatkan”. Hal ini dibuktikan oleh lontaran pikiran nyeleneh dari salah satu pembicara yang menyatakan bahwa perubahan kiblat yang dilakukan Rasulullah dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram (Ka’bah) bukan perintah wahyu. Tetapi hasil riset politik Nabi, sehingga perubahan itu hanya merupakan kebijakan politik Nabi. Ini adalah lontaran pemikiran yang jauh menyimpang dari manhaj salafus shalih.

Lebih berat lagi adalah usulan dari seorang pembicara, Nurkholis Setiawan, yang hadir menggantikan Prof Amin Abdullah. Ia mengusulkan agar Muhammadiyah mengadopsi pemikiran Syahrur dan Arkoun dalam menafsirkan Al-Quran, karena tafsir konvensional yang ada sekarang ini dipandang tidak memadai dan tidak relevan.

Dalam makalahnya, Nurkholis banyak merujuk kepada Syahrur dalam persoalan pidana. Katanya, “Untuk persoalan pidana, tidak berlebihan jika kita melihat proposal pemikirah Syahrur, yang menitik beratkan kepada teori batas.” Menurut Syahrur kasus pemidanaan tidak harus di-amar-kan sesuai dengan bunyi leterlijk. Melainkan diselaraskan dengan peradapan komunitas yang menjalankannya.”

“Menurut model pemikiran Syahrur, masyarakat Muslim Indonesia memiliki ruangan yang cukup untuk memberikan kontribusi sekaligus ‘memberdayakan’ tafsir sebagai salah satu bangunan metodologis melahirkan ketetapan hukum,” tulis Nur Kholis dalam makalahnya.

Sebagaimana diketahui bahwa Syahrur sebenarnya bukan seorang ahli dalam hukum Islam. Setelah lulus dari sekolah menengahnya di lembaga pendidikan ‘Abd al-Rahman al-Kawakibi, Damaskus tahun 1957 ia mendapatkan beasiswa pemerintah untuk studi teknik sipil (handasah madaniyah) di Moskow, Uni Sovyet.

Ia berhasil meraih gelar Diploma dalam teknik sipil pada 1964 dan kemudian bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Syahrur lantas dikirim oleh pihak Universitas ke Irlandia ‘Ireland National University’ untuk memperoleh Master dan Doktoralnya dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi( 1969). Dan gelar doktornya di jurusan yang sama dia selesaikan tahun 1972.

Insinyur pertanahan ini mendadak terkenal setelah menolak hijab dan jilbab. Di beberapa tulisannya, apalagi dalam bukunya yang berjudul Nahwa Ushul Jadid li Al-Fiqh al-Islami (Menuju Metode Baru dalam Fiqih Islam) sangat menentang hijab. Bukunya, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, yang sangat kontroversial tiba-tiba membuat namanya menjadi terangkat. Bahkan dipuja-puja kaum liberal di Indonesia.

Tidak hanya itu, doktor yang banyak dirujuk kaum liberal ini juga membolehkan ‘kumpul kebo’. Pada bulan Januari, situs Al-Arabiya menanyakan masalah pergaulan bebas yang banyak menjangkiti para remaja Suriah, Syahrur mengatakan bahwa apa yang dilakukan para remaja itu, jika hal itu sesuai dengan kemauan mereka, tanpa akad, atau tanpa didampingi seorang syekh atau tanpa mendapat izin, maka hal itu halal, katanya. Dan tokoh seperti inilah yang ingin dijadikan sandaran kaum liberal untuk mengkaji Al-Quran.

Syukurlah, pada sessi ini ditampilkan juga Ustadz Muammal Hamidy, dari PWM Jawa Timur. Dalam makalahnya, Muammal yang juga pengasuh Ma’had Aly Manarul Islam Lil Fiqh wal-Da’wah Bangil ini, mengungkap peringatan Rasulullah saw, bahwa ”Siapa yang menafsiri Al-Quran dengan ra’yunya, maka siap-siaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka.” Ia pun menyitir hadits lain: ”Akan datang suatu masa menimpa umatku, yaitu banyak orang yang ahli baca Al-Quran tetapi sedikit sekali yang memahami hukum, dicabutnya ilmu dan banyak kekacauan. Menyusul akan datang suatu masa, ada sejumlah orang yang membaca Al-Quran tetapi Al-Quran itu tidak melampaui tenggorokannya. Kemudian menyusul satu masa ada orang musyrik membantah orang mukmin tentang Allah (untuk mempertahankan kesyirikannya) dengan bahasa yang sama (HR Thabrani).

Ustadz Muammal Hamidy kemudian menyimpulkan: (1) Al-Quran jangan ditafsiri sesuai selera, (2) Pemahaman terhadap Al-Quran hendaknya didasari dengan ilmu, (3) Ilmu untuk memahami hukum-hukum Al-Quran harus dikuasai dengan baik, (4) Membaca Al-Quran minimal hendaknya disertai dengan pengertiannya, dan (5) Ummat Islam harus mewaspadai orang-orang yang mempergunakan dalil Al-Quran dan Sunnah untuk kepentingan yang tidak Islami.

Adian Husaini, anggota MTDK PP Muhammadiyah dalam catatan akhir pekan di hidayatullah.com, menegaskan, peringatan tokoh senior Muhammadiyah Jawa Timur ini kiranya perlu kita perhatikan. Sebab, umat Islam di Indonesia saat ini banyak dijejali dengan beragam model penafsiran yang ditawarkan oleh sebagian kalangan cendekiawan yang isinya justru mengacak-acak Al-Quran, seperti penafsiran yang menghalalkan perkawinan homoseksual dan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim.

Masalah penafsiran Al-Quran, menurut Adian adalah masalah yang sangat mendasar dalam Islam. Sebab, melalui ilmu inilah, umat Islam memahami firman Allah SWT. Karena itu, dalam Mukaddimah Tafsirnya, Ibn Katsir memaparkan, bagaimana hati-hatinya para sahabat Nabi saw dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Jika mereka tidak paham terhadap makna suatu ayat, maka mereka bertanya kepada sahabat lain yang dipandang lebih ahli dalam masalah tersebut. Ibn Katsir menasehatkan, jika tidak ditemukan penafsiran Al-Quran dalam Al-Quran, as-Sunnah, dan pendapat sahabat, maka carilah penafsiran itu dalam pendapat para tabi’in.

Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan tawadhu’nya pernah menyatakan: “Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui tentang Kitabullah?” Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa yang mengucapkan (sesuatu) tentang Al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan: “Hati-hatilah dalam penafsiran, sebab ia merupakan pemaparan tentang Allah.”

Sikap hati-hati inilah yang mendorong lahirnya para ulama Tafsir yang serius. Para mufassir Al-Quran harus sangat berhati-hati, sebab tanggung jawab mereka di hadapan Allah SWT sangatlah berat. Bagi yang bukan mufassir pun wajib memperhatikan masalah ini, dan berhati-hati dalam memilih tafsir. Jangan sampai memilih tafsir Al-Quran yang dibuat sesuai dengan selera dan hawa nafsu.

Sebagai satu organisasi Islam yang besar, tentu Muhammadiyah wajib memiliki banyak Ahli Tafsir Al-Quran. Kita menyambut baik setiap upaya ijtihad yang dilakukan oleh para ulama atau pemikir Muslim mana pun. Namun, kita juga perlu berhati-hati dalam soal penafsiran. Tidak setiap ”kilasan pemikiran” bisa dikatakan ijtihad. Setiap lontaran pemikiran yang baru tentang Tafsir Al-Quran, sebaiknya dikaji dengan seksama terlebih dahulu secara terbatas di kalangan pakar Tafsir.

Salah satu kekacauan dan pengacauan tafsir Quran yang sempat dilontarkan dalam kolokium di UMM itu adalah ”teori batas” dari Syahrur yang diajukan Nur Kholish adalah batas dalam soal waris. Pola 2:1 bagi laki-laki dan wanita, menurut Syahrur, adalah formula batas atas dan batas bawah. Jadi, menurut formula itu, batas atas bagi laki-laki adalah 66,6 persen dan batas bawah bagi wanita adalah 33,33 persen. Jadi, bisa dilakukan ijtihad baru, seorang laki-laki mendapatkan warisan 60 persen dan seorang wanita mendapatkan 40 persen. Aspek lokalitas turut memberikan warna dalam pergeseran 66,6 banding 33,3 persen.

Kekacauan Teori Batas ini bisa dilihat dalam kasus pakaian laki-laki. Syahrur berpendapat bahwa batas bawah (batas minimal) aurat laki-laki yang harus ditutup hanyalah kemaluannya. ”Karena keadaan cuaca berbeda-beda pada tiap penduduk bumi dari panas yang terik sampai dingin yang menggigit. Maka batas minimal pakaian yang diberikan bagi laki-laki adalah menutup kemaluan.” Karena itu, kata Syahrur, laki-laki boleh berenang hanya dengan mengenakan celana renang saja. Yang dilarang adalah melihat laki-laki dalam keadaan telanjang bulat. (Lihat, Muhammad Syahrur, Islam dan Iman: Aturan-sturan Pokok, (Terj.) (Yogya: Jendela, 2002), hal. 71.

Pada 6 September 2004, situs JIL pernah menurunkan sebuah artikel yang membahas tentang Teori Batas Syahrur, ditulis oleh seorang dosen di Jurusan Tafsir-Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ditulis di situ, bahwa dalam soal pakaian wanita (libâs al-mar’ah), Syahrur berpendapat bahwa batas minimum pakaian perempuan adalah satr al-juyûb (Q.S al-Nur: 31) atau menutup bagian dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah.

Kita bisa melihat, betapa absurdnya teori semacam ini. Dengan ”Teori Batas” ala Syahrur ini, maka boleh saja wanita mengenakan bikini di depan umum, yang penting dia sudah menutupi batas minimal, yakni kemaluan, payudara, dan tidak telanjang bulat.

Dengan model penafsiran yang sangat ”fleksibel” seperti itu, kita paham, mengapa sebagian kalangan sangat menyukai metode tafsir al-Quran yang disebut ”Teori Batas” ala Syahrur ini. Meskipun model tafsir al-Quran semacam ini yang ditawarkan dalam acara Kolokium Nasional Pemikiran Islam di Unmuh Malang, kita berharap, Majelis Tarjih Muhammadiyah, tidak tergoda untuk memungutnya.

Kembali Ke Missi Ahmad Dahlan dengan Dakwah Salafiyah

Dalam sejarah dakwah Islam di Indonesia, KH. Ahmad Dahlan adalah salah satu tokoh penting dari gerakan salafiyah, yakni gerakan pemurnian Islam seperti dirintis oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha dan seterusnya. Di Indonesia sendiri dakwal salafiyyah dipelopori oleh tokoh yang dikenal dengan pemimpin kaum Paderi, yakni Imam Bonjol, yang selanjutnya diteruskan oleh gerakan Sumatera Tawalib. Itulah sebabnya, ketika Dakwah Muhammadiyah merambah ke Sumatera Barat, sambutannya begitu dahsyat, dan banyak tokoh Tawalib yang bergabung dengan Muhammadiyah, dan Muhammadiyah Sumatera Barat menjadi daerah kantong Muhammadiyah dengan kualitas dan kuantitas anggota yang sangat spektakuler, bahkan melebihi Yogyakarta tempat kelahirannya.

”Ideologi Salafiyah” yang menjadi manhaj KH. Ahmad Dahlan memang benar-benar merujuk kepada para ulama yang dikenal memiliki kommitmen terhadap manhaj salaf. Beliau membaca buku-buku Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim, seperti kitab ”al-Tawassul wal Wasilah, Madarij al-Salikin, Al-Aqidah al-Wasitiyyah, juga membaca Kitab Tauhid Ibnu Wahhab, serta buku-buku Rasyid Ridha. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan sempat berjumpa dengan Syaikh Rasyid Ridha tersebut di Mekkah saat beliau bermukim di sana.

Kalau kita baca buku ”Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Quran” yang dihimpun oleh KHR. Hajid, sangat terasa sentuhan manhaj salaf, yang sangat tegas dan dalam memurnikan aqidah, ibadah dan penguatan akan tazkiyatun nafs, sebagaimana banyak diajarkan oleh ulama-ulama salaf.

Untuk itu, sangat tidak berlebihan, kalau warga Muhammadiyah kembali mengkaji falsafat dan ajaran KH Ahmad Dahlan, yang benar-benar menanamkan jiwa berjuang yang tinggi untuk menegakkan syari’at agama Islam secara kaffah dan murni. Bersih dari takhayyul, bid’ah, churafat (TBC) dan kemusyrikan, baik syirk asghar maupun syirk akbar.

Sangat aneh apabila ada Pimpinan atau anggauta Muhammadiyah yang ingin menghidupkan amalan bid’ah dan khurafat, seperti yasinan, tahlilan untuk orang mati pada hari ke 3, 7, 40, 100, dan seterusnya. Juga getol menghidupkan ruwatan, dan sejenisnya, yang semuanya itu dilakukan dengan mengatasnamakan dakwah kultural. Sementara banyak kita jumpai, para santri dan beberapa kyai yang selama ini getol menghidupkan TBC, dan menggukanakannya sebagai media dakwah, justru telah menyadari kekeliruannya, kemudian diteruskan dengan menulis buku-buku yang menguraikan kebid’ahaan dan penyimpangan ritual-ritual seperti tahlilan, manakiban, yasinan dan istighasahan dan seterusnya.

Kita bersyukur atas kembalinya para kyai dan santri kepada dakwah salafiyah, dakwah pemurnian aqidah, ibadah dan akhlak, dengan pengendalian muamalah agar sesuai dengan prinsip muamalah Islam dengan mengikuti perkembangan jaman. Kita berharap mereka bisa gayung bersambut membantu Muhammadiyah dalam menguatkan dan menyebarkan dakwah salafiyah, dakwah yang bijak dan santun kepada setiap mad’u. Dakwah yang membimbing umat kepada jalan yang benar sesuai pesan-pesan al-Quran dan al-Sunnah, sejalan dengan manhaj salafush shalih.

Namun, di sisi lain kita juga menyesalkan beberapa kalangan da’i atau mubaligh, terlebih-lebih yang mengklaim dirinya sebagai ”da’i salafi” mencemooh dan mencecar Muhammadiyah telah bergelimang dengan berbagai prraktek bid’ah. Mestinya malah memberikan dukungan dan bantuan agar Muhammadiyah selalu di jalan manhaj salafush shalih, meskipun tampil dengan wajah modern, seperti dengan kemajuan dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan, serta sistem organisasi dan amal usaha yang variatif. Sementara itu para pimpinan dan warga Muhammadiyah sebagaimana manhaj tarjih, dituntut bersikap terbuka, dan siap terus belajar. Siap menerima koreksi dari siapa pun selama sesuai dengan dasar Al-Quran dan al-Sunnah. Juga tidak boleh merasa cukup ilmu, padahal masih sangat jauh kekurangannya. Ibarat kata di dalam tempurung. Ilmu-ilmu Islam begitu luas dan dalam.

Warga Muhammadiyah wajib mengapresiasi putusan-putusan para ulamanya yang terhimpun dalam Majelis Tarjih dan Tajdid, terutama HPT (Himpunan Putusan Tarjih), tetapi tetap harus membuka wawasan bahwa diluar HPT, masih banyak yang harus dikaji dan diamalkan. Artinya warga Muhammadiyah tidak boleh berhenti belajar dengan menganggap HPT adalah segala-galanya. Insyaallah dengan beginilah kita meneguhkan identitas dan ideologi persyarikatan. Istilahnya Pak Amien Rais kader dan anggota Muhammadiyah haruslah memiliki komitmen dan wawasan dalam bermuhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan pun pernah aktif dalam Sarekat Islam dan Budi Utomo, juga bergaul akrab dengan tokoh Al-Irsyad, seperti Ahmad Syurkati. Beliau belajar kepada para ulama yang bermanhaj Salaf, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim lewat kitab-kitabnya, juga Muhammad bin Abdul Wahhab, Rahmatullah al-Hind, dan Rasyid Ridha. Tetapi juga mengambil semangat pembaharuan terutama dalam urusan ilmu, pendidikan dan urusan duniawi, misalnya Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh,

Dari sini dapat dimengerti bahwa teguhnya ideologi Muhammadiyah tidak dengan menutup diri dan fanatik buta, Tetapi justru harus membuka diri untuk menerima kebenaran dari siapa pun selama sejalan dengan Al-Quran dan Al-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush shalih. Nasrun minallah wa fathun qarib.

(Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Wakil Ketua MTDK Muhammadiyah).

Tidak ada komentar: